Franchise Cellular Operator in Rural Areas (Operator Seluler Model Franchise di Daerah Rural)

Isi Artikel Utama

Nurfadillah A. Parewe
Taufik Hasan
Adit Kurniawan

Abstrak

The rapid development in telecommunication motivates organizations or business person to gain some profits in telco-based business. However, very limited Indonesian villagers had access to these technologies.  This problem was caused by the less attractive condition (even  unfeasible) to invest in the rural areas because the cost to build a conventional telecommunication infrastructure was very high, eventhough this was a potential new market. The other is the limitations of the spectrum allocated for new wireless access operator. This study formulated a new network cellular business model that met the rural needs, called franchise operator which is able to solve the problem of the frequency spectrum limitations, because new operators could make use of the frequency spectrum of the legal operators, though a new proposed business scheme, whereby the new operator does not require a new frequency allocation. However, the implementation of this franchising model is highly dependent on telecommunication regulation in Indonesia. So that further studies is needed regarding the regulation that will permit the creation of franchising operator. Open BTS technology as selected village cellular technology, requires an investment only of Rp 223 million to build telecommunication infrastructure in rural areas. This is much cheaper than to deploy a conventional infrastructure. Supported by franchise business model, operating cost could be decreased, making this model feasible to be implemented as a breakthrough of the telecommunication infrastructure development in rural areas.

Perkembangan teknologi mendorong pelaku perdagangan beralih membentuk bisnis telekomunikasi dan berkompetisi dengan menawarkan berbagai produk telekomunikasi. Namun sangat disayangkan, 50,21% dari total penduduk Indonesia yang tinggal di pedesaan (Badan Pusat Statistik Indonesia, 2010) hampir tidak terjangkau akses telekomunikasi. Masalahnya adalah para operator merasa berat berinvestasi di pedesaan karena biaya pembangunan jaringan seluler konvensional yang sangat tinggi dan tidak sebanding dengan keuntungan yang diperoleh. Selain itu keterbatasan spektrum menjadi kendala bagi calon operator baru yang ingin mengambil peran. Guna mengatasi masalah tersebut, dihasilkan sebuah model operator berbasis kerjasama franchise yang disesuaikan dengan kebutuhan pedesaan. Operator model franchise yang dimaksud dapat memberi solusi keterbatasan spektrum frekuensi karena operator hanya perlu memanfaatkan spektrum frekuensi dari operator berlisensi sehingga tidak membutuhkan alokasi frekuensi yang baru. Namun pelaksanaan franchising ini sangat tergantung pada regulasi atau peraturan telekomunikasi yang berlaku di Indonesia. Sehingga diperlukan kajian lebih lanjut mengenai Undang-Undang maupun Peraturan Pemerintah yang dapat berdampak bagi franchising operator ini. Teknologi openBTS yang dipilih sebagai solusi teknologi seluler pedesaan hanya memerlukan biaya investasi sekitar Rp 223 juta untuk membangun satu site infrastruktur di daerah terpencil. Biaya investasi ini jauh lebih murah dibandingkan biaya pembangunan infrastruktur seluler konvensional. Didukung dengan model bisnis franchise yang akan mengurangi biaya operasional operator, maka desain ini dapat menjadi peluang bisnis baru bagi operator eksisting maupun untuk memberi dukungan dalam meningkatkan produktifitas dan efisiensi infrastruktur telekomunikasi dan informasi di pedesaan.   

Rincian Artikel

Bagian
Informatika

Referensi

A.Burgess, D. (2010, March 16). Niue#4:Licence? We Don't Need Lisence! Retrieved December 1, 2012, from The OpenBTS Chronicles: http://openbts.blogspot.com/search/label /niue

A.Parewe, N. (2013). Analisis dan Perancangan Jaringan Seluler Model Franchise di Daerah Rural. Bandung: Institut Teknologi Telkom.

Badan Pusat Statistik Indonesia. (2010, Desember 31). BPS. Retrieved September 1, 2012, from BPS: http://sp2010.bps.go.id/

Badan Pusat Statistik Indonesia. (2010, Desember 31). Sensus Penduduk 2010. Retrieved September 1, 2012, from BPS: http://sp2010.bps.go.id/

Dealtry, R. (1992). Dynamic SWOT Analysis. Birmingham, UK: Dynamic SWOT Associates Publications.

Depkominfo Republik Indonesia. (2011, Maret 23-24). Implementation of USO Program in Indonesia. Jakarta.

Hill, T., & Westbrook, R. (1997). SWOT Analysis; It's Time for A Product Recall. Long Range Planning, Vol.30, No.1 , 46-52.

Likert, R. (1932). A Technique for The Measurement of Attitudes. In Archives of Psychology (pp. 1-55).

Range Network. (n.d.). Range Network Product. Retrieved September 1, 2012, from http://www.rangenetworks.com/store/5150-series